Renungan Harian – Senin, 17 Agustus 2020

August 18, 2020
renungan harian katolik
SENIN
(Putih)
17
AGUSTUS

HR Kemerdekaan RI
Sirakh 10:1-8
Mazmur 101:1a.2ac. 3a.6-7
1 Petrus 2:13-17
Matius 22:15-21

15 Kemudian pergilah orang-orang Farisi; mereka berunding bagaimana mereka dapat menjerat Yesus dengan suatu pertanyaan. 16 Mereka menyuruh murid-murid mereka bersama-sama orang-orang Herodian bertanya kepada-Nya: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapa pun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. 17 Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” 18 Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: “Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik? 19 Tunjukkanlah kepada-Ku mata uang untuk pajak itu.” Mereka membawa suatu dinar kepada-Nya. 20 Maka Ia bertanya kepada mereka: “Gambar dan tulisan siapakah ini?” 21 Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
SERATUS PERSEN PATRIOTIK, SERATUS PERSEN KATOLIK
“Hiduplah sebagai orang merdeka, dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu …, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja” — 1 Petrus 2: 16-17.
PERIKOP ‘Membayar pajak kepada Kaisar’ ini bicara mengenai makna sebuah kewajiban dalam kehidupan masyarakat konkret. Tanggapan Yesus sangat lugas. “Berikanlah kepada Kaisar, apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!” (Mat 22: 17).
Dalam penyimpulan itu, Yesus samasekali tidak memakai kutipan Alkitab. Yang ditunjuk adalah realitas pragmatis, yaitu bahwa manusia itu pada akhirnya harus menyadari asal usul dirinya. Kepada asal-usul itulah, setiap ciptaan mempunyai kewajibannya masing-masing.
Menurut iman, asal usul kita adalah Allah yang abadi. Keabadian itu membuat sikap dan kewajiban kita kepada Sang Pencipta, bersifat mutlak dan final. Menurut daging, asal usul kita adalah ayah-ibu, yang ‘dibentuk’ oleh karakter keluarga, bangsa, dan negara. Karena kefanaan, maka sifat kewajiban kita pada mereka adalah temporalis, dalam waktu sementara. Paulus menggabungkan dua konteks sikap dan kewajiban tersebut, dengan berkata: “Tiap-tiap orang harus ‘berada di bawah penyelenggaraan’ pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rom 13:1; lih. ay. 2-7).
Dalam ranah pragmatis—sebagai wujud rasa sebagai anak bangsa—, karakter temporalis maupun final itu, diungkapkan oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. (1896-1963) sebagai berikut: “Jika kita merasa sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik, sebab kita juga merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah ke-empat dari Sepuluh Perintah Allah, …, kita harus mengasihi Gereja Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati” (G. Budi Subanar (2005), hlm. 82).
Berhadapan dengan kedua konteks sifat kehidupan itu, kita harus mengambil sikap kepemihakan; tidak boleh ada sikap oportunis, hanya melihat pada sisi keuntungan pribadi belaka. Ingat nasehat Rasul Yohanes, “Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! … jangan suam-suam kuku…sebab Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” (Why 3:15-16). (WIT)
DOA : “Ya Bapa , lindungilah negara dan bangsa kami dari sikap-sikap oportunis, yang sering merusak tatanan hidup berbangsa. Tunjukkanlah prinsip-prinsip hidup, di mana hanya Engkau sajalah, yang menjadi Kriteria Kebenaran, Jalan, serta Tujuan Hidup kami semua”.
JANJI : “Pemerintah yang bijak mempertahankan ketertiban pada rakyatnya dan pemerintahan orang arif adalah teratur”. — Sirakh 10:1
PUJIAN: Saat ‘pulang’ ke Polandia, Tanah Air-nya (2/VI/ ’79), Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) mengatakan, “Wołam, ja, syn polskiej ziemi” (Aku menyebut, aku adalah anak dari Bumi Polandia). Ucapan itu mencerminkan pengalam- an dan keyakinannya bahwa Bumi dan tanah, tempat ia lahir dan dibesarkan, adalah tempat bibit iman, yang disebarkan oleh Sang Penabur (Mrk. 4:1-20). Dari kesatuan dengan Bumi itulah—dengan sejarah, budaya, dan identitasnya—setiap manusia dibentuk untuk menjadi anggota umat Allah, menjadi sebuah Ecclesia. Dari patria, ‘tanah air’, Gereja yang konkret itu, dibangun. Per Patriam ad Ecclesiam, ‘dari Tanah Air menuju Gereja’!