Romo Felix Supranto, SS.CC: Jangan Tersandera Masa lalu

July 26, 2020

Oleh Romo Felix Supranto, SS.CC

Tidak ada manusia yang hidup sendirian. Selama hidup, kita pasti memiliki interaksi sosial. Interaksi itu bisa antara suami dan istri, orang tua dan anak, menantu dan mertua, teman-teman sepelayanan, serta teman-teman sekantor. Relasi antar sesama merupakan kebutuhan pokok manusia. Hubungan sosial tidak terbatas pada waktu dan tempat. Di mana saja bisa terjadi.

Interaksi sosial itu berguna bagi perkembangan diri, tetapi juga dapat menimbulkan konflik. Konflik pasti meninggalkan luka berbentuk kekecewaan dan luka hati. Luka itu memengaruhi relasi kita antar sesama. Kualitas relasi kita akan berkurang. Relasi kita tidak lagi nyaman. Suami dan istri yang terluka akan menciptakan “neraka” sehingga mereka jatuh dalam kekecewaan. Kekecewaan membuat mereka menyesali pernikahannya. Mereka mungkin akan bertanya kepada Tuhan, “Tuhan, jangan-jangan saya telah memilih pasangan yang salah”.

Luka dengan teman sekerja akan membuat kita tidak lagi bisa bekerja dengan tenang. Luka dengan teman pelayanan akan membuat kita tidak bahagia dalam melaksanakan pekerjaan Tuhan. Luka dalam relasi antara mertua dengan menantu akan menimbulkan permusuhan yang tersembunyi, tak terungkapkan, hanya disimpan di dalam hati.

Terluka itu sangat menakutkan sehingga kita berusaha menghindarinya. Kita menghindarinya karena luka itu sangat menyakitkan. Kita akan terpenjara di dalam masa lalu kita. Kita senantiasa teringat orang-orang yang melukai kita dan kata-katanya yang pedas. Ingatan itu akan seperti belati yang mengoyakkan kedamaian hati. Hati kita dipenuhi dengan kemarahan, kebencian, dan bahkan keinginan balas dendam.

Kemarahan, kebencian, dan dendam akan menjauhkan kita dari persahabatan dengan Tuhan dan membiarkan diri dalam kendali iblis : “Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan” (Mazmur 37 : 8). Ketika luka itu kita pelihara, kita akan menjadi depresi, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jantung kita tiba-tiba berdetak cepat, tetapi tidak tahu mengapa.

Luka yang terus kita pelihara membuat kita mengorbankan masa kini dan masa depan. Masa kini dan masa depan kita terlantarkan karena kita sibuk dengan sumpah serapah. Sumpah serapah membuntukan kesadaran bahwa masa lalu adalah pelajaran, masa kini adalah perjuangan, dan masadepan adalah pengharapan. Kita kehilangan perjuangan di masa kini dan pengharapan di masa depan karena kita terus disandra dengan pertanyaan tentang masa lalu kita, “Mengapa dia dulu begini dan begitu terhadap aku?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menghabiskan energi kita sehingga kita tidak lagi memiliki tenaga untuk mengisi masa kini dan masa depan. Bagaimana kita bisa mengatasi rasa takut terluka sehingga kita tidak mengorbankan masa kini dan masa depan kita?

Kehidupan kita tidak saja menawarkan tawa, tetapi juga duka, luka, dan air mata. Ketika kita menyadari irama kehidupan tersebut, kita telah memersiapkan diri dalam menghadapi luka yang akan terjadi. Kita telah memiliki hati untuk mengampuni sebelum kepahitan itu menimpa kita. Dengan pengampunan, kita telah menangkal penjara masa lalu sebelum hal itu menjerat kita.

Kesadaran itu membuat kita bisa mengubah luka menjadi kekuatan. Seberapa besar sakitnya luka untuk didengar dan dirasakan, hal itu dapat kita gunakan untuk belajar lebih kuat. Kita lebih kuat dalam iman, perjuangan, dan pengharapan.

Luka di masa lalu itu akan menjadikan kita lebih kuat seperti rajawali yang tetap mampu terbang tinggi meskipun harus melewati badai yang bertubi-tubi. Tuhan tidak pernah membiarkan kita bergumul seorang diri, tetapi Dia sangat peduli dan sanggup memberikan pengharapan yang pasti dan tidak pernah mengecewakan, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan janganlah gemetar.. sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Ulangan 31:6).

Orang yang kuat tidak membiarkan diri dicengkeram dengan kegeraman. Kegeraman hanya menambah kehancuran batin kita. Sebaliknya, orang yang kuat akan menghadapi kemarahan dengan kelembutan. Kelembutan akan melahirkan kedamaian: “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (Amsal 15 : 1).2. Senantiasa ada hal indah di setiap kepahitan yang kita alami.

Kepahitan di masa yang lalu tidak senantiasa merugikan kita. Berbagai luka di masa yang lalu hadir bukannya tanpa tujuan. Ketika luka itu dimaknai dengan tepat, hal itu akan memberikan hikmat yang berharga bagi kita. Ketika kita mengangkat amarah dan kecewa di masa yang lalu dengan jernih, kita akan memiliki gambaran hidup yang indah di masa depan. Kekecewaan dan kemarahan itu akan menjadi energi yang sangat kuat bagi kita untuk mewujudkan masa depan yang jauh lebih baik ketika kita mampu mengartikannya.

Jika di masa lalu kita mengalami kesulitan ekonomi, kita akan menjadi seorang pekerja keras sehingga anak-anak kita aman dalam segala kebutuhannya. Jika kita berasal dari keluarga yang berantakan, kita akan berusaha memelihara keluarga kita agar tidak mengalami kehancuran seperti orang tua kita. Ada sebuah kesaksian dari orang yang mampu mengubah kepahitan menjadi kekuatan. Ada seorang anak berasal dari keluarga yang kekurangan karena ayahnya meninggalkan ibunya dan menikahi wanita lain.

Keadaan itu membuatnya tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Ia hanya lulus SMP. Sebagai manusia, ia sangat marah dengan ayahnya yang menyebabkan penderitaannya. Kemarahan ini tidak membuatnya takluk dengan keadaan. Dalam hatinya, ia memiliki tekad : “Saya pasti bisa berhasil walaupun tanpa ayah”. Ia pun menjadi kernet angkutan kota. Penghasilannya ia tabung sehingga memiliki angkot sendiri yang ia operasikan sendiri pula.

Ketekunannya membuat usaha angkotnya berkembang pesat dan akhirnya ia menjadi juragan perusahaan bus antar kota – antar provinsi. Setelah siap segalanya, ia menikah dan mendapatkan tiga anak. Ia memelihara keluarganya dengan baik. Ia mengatakan, “Keluargaku adalah segalanya bagiku. Mereka harus bahagia. Jangan sampai keluargaku menderita seperti yang saya pernah alami”. Keadaanya sekarang ini merupakan perwujudan gambaran hidup yang diperolehnya dari masa lalu yang suram dan menyakitkan.

Kesimpulan dari pembicaraan kita, supaya kita tidak takut menghadapi luka, janganlah kita menggenggam masa lalu yang melemahkan, tetapi genggamlah masa lalu yang menguatkan. Masa lalu yang melemahkan akan menghancurkan masa kini, tetapi masa lalu yang menguatkan sangat berguna bagi perjuangan kita di masa kini demi masa depan yang penuh pengharapan.