Ketika Mahasiswa Super Jenius Membela Tuhan di Hadapan Profesor Ateis

July 23, 2023

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR

Seorang profesor ateis berkata: Tuhan tidak ada. Kalau Tuhan ada, mengapa ada kejahatan? Kalau Tuhan memang sumber kebaikan, maka Tuhan juga bisa jadi sumber kejahatan. Lebih baik mengingkari adanya Tuhan, yang memang tidak kelihatan daripada mengingkari kejahatan yang memang nyatanya ada.

Seorang mahasiswa bertanya balik: “Apakah dingin itu ada?” Profesor menjawab: “Ya, memang ada”. Mahasiswa itu berkata: “Salah, dingin itu tidak ada. Dingin itu akibat ketiadaan atau berkurangnya panas. Kita mengukur dingin berdasarkan berapa banyak atau sedikitnya panas”.

Sekali lagi mahasiswa bertanya kepada Profesornya: “Apakah gelap itu ada?”. Profesor menjawab: “Ya memang ada”. Mahasiswa itu berkata lagi: “Ini juga salah. Gelap itu tidak ada. Gelap adalah akibat berkurang atau tiadanya terang”.

“Maka”, katanya sekali lagi, “Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan itu ada akibat absennya kebaikan. Jadi eksistensi Tuhan tidak bisa diingkari karena adanya kejahatan.”

Mahasiswa yang berani menyanggah dosennya bernama Albert Einsteinn, seorang jenius abada ke-20.

Yesus mengajarkan perumpamaan tentang ilalang dan gandum dalam Injil hari ini (Mat 13:24-30).

Ilalang” di antara gandum dalam perumpamaan itu adalah sejenis lalang (Latin: Lolium temulentum) yang dikenal sebagai “tanaman berjanggut”. Mereka sangat mirip dengan tanaman gandum sehingga tidak mungkin membedakan satu sama lain sampai bulir benih muncul.

Pada saat itu, akar gandum dan lalang ini begitu terjalin sehingga lalang tidak dapat disingkirkan tanpa mencabut gandum bersama mereka. Pada akhir panen, lalang harus dikeluarkan dari gandum dengan tangan, karena sedikit beracun.

Menaburnya di ladang gandum adalah cara yang kasar bagi musuh untuk membalas dendam pada seorang petani.

Lalang dalam perumpamaan itu melambangkan kejahatan dalam diri orang berdosa yang tidak bertobat, orang-orang yang memprioritaskan diri mereka sendiri, yang menggunakan orang lain untuk kemajuan atau kesenangan mereka sendiri.

Sebaliknya gandum melambangkan kebaikan, yakni orang-orang benar. Mereka yang telah menolak rayuan si jahat atau mereka yang bertobat dari dosa-dosa mereka.

Bisa juga melambangkan orang-orang yang terus berusaha bertumbuh secara sehat dan jujur di tengah impitan macam-macam bentuk godaan dan tawaran jahat. Mereka yang berjuang melawan sifat egois dan setia untuk mengikuti Yesus Kristus dalam semangat berbelarasa.

Dua macam pribadi ini selalu ada dalam dunia. Bahkan dua macam sifat, baik dan jahat, bisa hidup bersama-sama dalam pribadi seseorang.

Sikap “membiarkan” dari Allah bukan tanpa maksud. Allah bukannya tak peduli pada orang-orang baik. Di sini Allah ingin menunjukkan sikap sabar dan setia menunggu pertobatan orang-orang yang berada di jalan yang salah. Allah membuka ruang seluas-luasnya sampai detik terakhir hidup seseorang agar memungkinnya mengambil keputusan yang benar. Itulah arti belaskasih dan maharahim Allah yang tak terhingga.

Kadang ada keinginan untuk segera menyingkirkan orang-orang yang dianggap jahat, bila perlu dengan hukuman mati. Tapi tidak jarang juga orang-orang yang demikian justru mendapatkan pertobatan dan menjadi sumber kebaikan dan kasih yang mengagumkan.

Kita berharap agar kejahatan musnah dari dunia ini, tapi kita lupa untuk menumbuh-kembangkan kebaikan. Kita selalu mengutuk kegelapan tapi kita tidak mau untuk menyalakan terang.

Kita ingin menghilangkan rasa dingin tapi kita tidak mengusahakan kehangatan. Kita ingin menghilangkan kebencian tetapi tidak berani mencintai.

Jika kebaikan itu diberi ruang untuk tumbuh, maka kejahatan akan hilang seiring waktu.

Salam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula, Sumba, NTT