REFLEKSI MURID KRISTUS

January 19, 2021

REFLEKSI KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA dapat dilaksanakan dengan penuh KERENDAHAN HATI sebagaimana PAUS FRANSISKUS mengajak kita di TAHUN ST. YOSEPH 2021 mengikuti JEJAK SANTO YOSEPH dalam melibatkan diri untuk MENDUKUNG YESUSNYA BERSAMA MARIANYA. Refleksi mengajak kita menoleh agar DAPAT MENJALANKAN PERTUMBUHAN dalam IMAN PADA YESUSNYA YOSEPH DAN MARIA. Hal itu hanya mungkin apabila SEPERTI ST. YOSEPH kita selalu MEMBUKA DIRI PADA BISIKAN ROH, serta siap MENJALANKAN KEHENDAK ALLAH.

Masyarakat pada umumnya kerap menyebut kelompok tertentu sebagai ‘orang Kristen’, atau ‘umat Kristiani’, atau ‘umat Nasrani’. Di antara mereka masih sering dibedakan antara ‘Kristen yang sama dengan Protestan’ dengan ‘Gereja Katolik Roma’. Lepas dari pembedaan-pembedaan itu, ada pula suatu nada, yang mengusahakan perjumpaan, dengan menyebut semuanya ‘Murid Kristus’. Seluruhnya percaya kepada Allah, yang mengirim PuteraNya untuk menebus dosa manusia, dengan menjadi manusia. Untuk itu Allah telah mengutus Roh Kudus, yang sejak awal mula memang senantiasa melingkupi semua orang (Kej 1:2). Banyak orang, antara lain St. Yohanes XXIII dan Paus Fransiskus, menginginkan agar SPIRIT itu pun KINI tetap membisikkan SuaraNya dengan jelas.

“Kini”, maksudnya pada tahun 2021 dan seterusnya, ketika banyak hal mempunyai warna khas, sungguh mempunyai sifat yang berlainan dengan masa silam, walau orang tetap merasakan undangan Allah, untuk menjadi murid Kristus, bersama Bunda Maria dan para Rasul, serta St. Yoseph. Dengan warna khas itu, semua orang bersatu menyambut Roh Allah, yang menyelenggarakan dunia, tetapi dengan tolok-ukur baru. Tolokukur itu memenuhi harapan Paus Fransiskus, yaitu “melayani Bapa dengan dijiwai Roh Kudus (ikut Paus Yohanes XXIII dalam mengawali tekad mengundang Konsili Vatikan II) dalam pengantaraan Sang Putera (menyambut nasihat Paus Benedictus XVI dalam 3 bukunya tentang “Yesus Kristus”)”.

Adapun teladannya pada masa sekarang, menurut “Patris Corde” adalah St. Yoseph, yang secara mesra ikut melaksanakan pengutusan Sang Putera, secara sederhana, sebagaimana diungkapkan dalam Philippi 2:1-11. Seluruh Ciptaan, sejak Kej 1:2 (Penciptaan) dan Yoh 20:22 (Penghembusan Roh Kudus secara intim, berkat Kebangkitan Kristus) serta Pentakosta (Pencurahan Roh Kudus secara publik) mengimani pelukan Roh Kudus: bersama seluruh alam dan semua orang, khususnya dalam Gereja, yakni Paguyuban Umat Beriman.

Pengudusan Triniter itu ditampakkan secara nyata, menurut Paus Fransiskus, oleh St. Yoseph, yang tanpa mencolok, menjadi ‘bapaknya Yesus’. Kalau memperhatikan Injil Matius, peran Yoseph amat penting: kehadiran keturunan Isai’ itu, menyebabkan secara sosial dan yuridis sungguh menjadi “Anak Daud”. Sang Kristus (‘Terurapi’) menghadirkan Daud, yang terurapi, melalui ‘bapak Yoseph’.  Bagaimana Beliau sampai pada ‘spirit’ itu? Jalannya adalah ‘jalan sempit’ dalam masyarakat Amerika Selatan waktu itu. Pada waktu Bergoglio menjadi imam dan uskup di ‘benua Katolik’ itu, Gerakan yang amat dikagumi adalah Teologi Pembebasan. Teologi ini menggerakkan umat untuk secara ekonomis dan politis berjuang demi pemerdekaan orang tertindas. Salah satu jalannya adalah ‘merebut kekuasaan’ dari penguasa ekonomi dan politik. Bergoglio menyetujui hasrat untuk membela rakyat kecil, tetapi menguatirkan bahwa pelayanan ‘untuk merebut kekuasaan’ dapat merugikan rakyat kecil sendiri. Oleh sebab itu, ia lebih bekerja di daerah miskin bersama rakyat kecil. Sebagai Provinsial, dia juga mengirim Jesuit2 muda ke pelosok. Kedua arah itu memang sulit, tetapi harus diupayakan.

Kardinal Bergoglio, yang kemudian menjadi Paus Fransiskus, melayani umat Argentina dengan meyakini, betapa Roh Menjiwai Gerejanya, untuk melaksanakan PENGUTUSAN MAT 28: 16-20, dengan menggerakkan ‘spirit pelayanan’. Pada hemat saya, seperti semua ‘warisan orang tercinta yang meninggal itu terangkum dalam kalimat2 terakhir’, maka bagian akhir Injil Matius ini pantas kita perhatikan maknanya sebagai warisan penting. Dasar terutama adalah bahwa Bapa telah memberi kuasa kepada Sang Guru, yang sudah dibangkitkan dari penderitaan dan penyaliban. Pengutusan Sang Putera sebagaimana terlukiskan dalam ayat 16-18 itu tidak inderawi, namun menjadi dasar penting dari pengutusan Murid2 Kristus: demi pembebasan umat, tetapi melalui ‘lorong sempit, yang konkrit’. Dalam arti terdalam, ‘lorong sempit’ itu terwujud dalam manusia-manusia nyata, yang tidak memiliki kehebatan kemanusiaan. Namun, dengan iman pada Daya Roh, didoronglah umat untuk pada langkah berikut menginderawikan apa yang termaktub dalam ayat 16-18, yaitu:

1. menjadikan semua bangsa muridKu;

2. Merangkum semua bangsa dalam Namaku;

3. Baptislah…. ;

4. Ajarlah….

5. Agar mereka melakukan…PerintahKu…..

6. Akhirnya, disebutkan bahwa “Aku menyertaimu sampai akhir jaman”. 

Kalau dicermati dengan saksama, banyak bagian dari Komunitas-komunitas kita sudah lama berusaha melaksanakan hal itu, walaupun setiap kali perlu kita perbarui lagi dan lagi. Ketika Romo Kardinal I. Suharyo Pr. dari Keuskupan Agung Jakarta mengajak umat menjalankan Tahun 2021 sebagai Tahun Refleksi, Bapa Paus Fransiskus dari Gereja Katolik Semesta mengundang seluruh umat menjadikan Tahun 2021 sebagai Tahun St. Yoseph. Marilah kita berusaha, untuk memadukan kedua panggilan dari para Pemimpin Gerejawi kita. Marilah kita menjadikan 2021 sebagai Tahun Refleksi atas Pembangunan Paguyuban Umat Beriman sejauh ini; fokusnya adalah mewujudkan iman seperti St. Yoseph. Kalau Bunda Maria menyambut Roh Kudus dengan suara nyaring “Ya” sehingga terlibat dalam Penebusan Umat Manusia, maka St. Yoseph ikut membangun Gereja dari sikap yang hening dalam mendengarkan Sabda Allah dalam mimpi-mimpi, diwarnai kemesraan cinta kekeluargaan, diteguhkan dengan kerja keras sebagai rakyat jelata, dengan mendidik Anaknya dalam semangat Abraham-Ishak-Yakubm sebagaimana dilakukan oleh Daud, Leluhur mereka.

1. Kita diberi teladan, bagaimana Sang Kristus mementingkan relasi dengan Bapa, sebagai dasar Pengabdiannya sampai Wafat dan Bangkit: DOA adalah pengabdian utama Komunitas kita.Komunikasi dengan Tuhan itu jelas menjadi titik-titik penting dari pengambilan keputusan Yoseph, dalam melaksanakan Pengutusan/Missio-nya. Dalam langkah-langkah itu, Doa (interaksi terdalam seorang manusia dengan Allahnya) mengambil tempat penting. Hal itu terjadi ketika Yoseph mengambil keputusan untuk ‘melanjutkan pertunangannya dengan Perawan Maria’; untuk mengantar Maria, yang sedang hamil tua, untuk pergi ke Betlehem, tanah air Keluarga Daud; untuk mengantar Ibu Muda dengan Anak kecilnya mengungsi ke Mesir; untuk membawa pulang mereka ke Galilea lagi; untuk mengantar Maria disucikan; untuk memberi upacara sunat kepada Anak Sulungnya; untuk ke Yerusalem, ketika Yesus berusia 12 tahun. Jadi berkali-kali Yoseph menjawab “ya” kepada pesan Allah. Refleksinya: sejauh manakah kita mengambil keputusan untuk menjawab “ya” kepada saat2 penting dalam kita menjalankan pengutusan/’missio’ Allah: mengikuti teladan Yoseph. Sejauh manakah kita ikut membangun Gereja (Setempat/Semesta) dengan doa-doa kita, sehingga relasi kita dengan Allah terjaga? Dari sudut ini, bagi rekan-rekan Paus Fransiskus, yang berbakti kepada Yoseph, doa mempunyai sifat pelayanan, bukan sekedar tindak perseorangan.

2. Semua bangsa perlu kita persatukan (COMMUNIO yang mendorong terbentuknya komunitas-komunitas kita) dalam proses mewartakan, bahwa Allah menugasi AnakNya untuk memuliakan Allah. Oleh sebab itu, dari sudut pandang Matius 28 itu, seluruh umat manusia, yang dipersatukan dalam pengakuan iman bahwa diciptakan Allah,- kendati dosa-dosanya-, sesungguhnya diguyubkan dalam pengakuan iman kepada Yesus, yang wafat dan dibangkitkan. COMMUNIO ini menembus kebersamaan manusiawi, sampai pada persekutuan Murid Kristus, dengan cakrawala masuk ke Kerajaan Allah di surga.

3. Dalam pada itu, disadari oleh Gereja Perdana, bahwa pengakuan iman tersebut memerlukan penyataan, yang dapat diinderawikan dalam kebersamaan. Untuk itulah diperlukan ungkapan: “Baptislah…”. Baptis adalah ‘SACRAMENTUM’ yang menunjukkan realisasi rahmat penebusan Allah sampai penyambutannya oleh Anak-anak Adam dan Hawa. Konkretisasi itu terjadi dalam seluruh perjalanan hidup murid Kristus: Ketika mulai (Baptis), berkembang (Krisma), tersandung (Tobat), mau terpenuhi dalam Kristus (Ekaristi), sebagai persekutuah paling intim (Perkawinan)  sampai menyongsong perjumpaan utuh dalam Keluarga Allah (Sakramen Pengurapan Orang Sakit). Dengan demikian, semua sakramen-sakramen merupakan pengudusan dan juga pengutusan, yang melampaui ‘membenamkan atau mencelupkan dst’ secara materiil – fisik, melainkan perlambangan yang melanjutkan cara Tuhan menyapa sejak PL dan PB untuk menyatakan Kehendak Allah. Dalam Tradisi Pasca Perjanjian Baru, Pesan Besar di atas berkembang dalam Hidup SAKRAMEN2 (Baptis, Menyambut Roh, Selalu Koreksi Diri, Menyatu Dengan Sang Kristus, Menyambut Pemersatuan Yang Tertata serta Mengarahkan Diri kepada Sang Terurapi sampai Final: yi 7 Sakramen).  

4. Pelaksanaan merayakan Sakramen-sakramen itu perlu dilakukan sebagai perwujudan Ajaran Sang Putera, bukan sebagai perbuatan tahyul, yang mengharapkan dampaknya secara otomatis terwujud. Oleh sebab itu, perlulah bahwa para murid Kristus mendapat ‘pelajaran tentang apa saja Ajaran Seri Yesus Kristus dan bagaimanakah para muridNya dapat menjadikannya bekal untuk membangun ‘ecclesia’, yakni Paguyuban Umat Beriman. Apalagi Yesus telah meninggalkan mereka dengan pesan penting “AJARLAH mereka melaksanakan Perintah2Ku…”. Oleh sebab itu, mereka memerlukan segi pengajaran atau pemahaman atas Penebusan Kristus. Tujuannya ganda: dari satu sisi untuk memahami Ajaran Kristus; dari sisi lain mereka memerlukan jalan untuk mewujudkan dan menerapkannya dalam situasi yang tepat azas dan tepat guna.

5. Dengan demikian, para murid Kristus diundang untuk bersungguh-sungguh dalam “Melaksanakan Perintah Kristus”, yang intinya ada dalam Mat 25:31-46. Dari satu sisi, upaya itu meliputi pengertian tentang Yesus Kristus dan dari sisi lain, upaya itu mencakup pula hasrat untuk memahami, bagaimanakah mereka dapat menerapkan Ajaran Kristus dalam situasi dan kondisi baru.

Dalam sejarah, pesan ini dicoba dilaksanakan dalam DIAKONIA GEREJAWI (Pelayanan Bersama). Pada hemat saya, DOA, COMMUNIO, SACRAMENTUM, PRAEDICATIO, DIAKONIA adalah isi pokok, yang dalam sejarah dipesankan Sang Kristus, ketika menyelesaikan tugas PenebusanNya.

Sesungguhnya, isi terakhir masih penting, dan di masa sekarang banyak dikembangkan: Tuhan meneruskan pendampinganya sampai akhir zaman, melalui Yoh 20:22, bahwa Roh Kudus akan memberi nasihat terus menerus. Hal itu sekarang terwujud dalam “POIMENIK”, yaitu “CONSULTATIO”, yang sejak abad 16 melalui retret2 semakin berkembang, yaitu “umat saling menasehati untuk melaksanakan Pesan Tuhan Yesus ketika kembali kepada Bapa”. Betapa pentingnya ‘pembimbing rohani’ sekarang, semakin diyakini: bukan dari sudut teologis tetapi dari Relasi Rohani.

Karena hal itu penting, mungkin dalam TAHUN REFLEKSI KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA ini, Komunitas kita dapat MEREFLEKSIKAN SECARA BERSUNGGUH-SUNGGVUH: BAGAIMANAKAH KITA TELAH MEWUJUDKAN IMAN kita sebagai murid Kristus, melalui 6 “Lorong Sempit itu”: yalah

ORATIO (Doa);

COMMUNIO (Persekutuan);

SACRAMENTUM (sakramen2);

PRAEDICATIO (Pewartaan);

DIAKONIA (Pelayanan) dan juga

CONSULTATIO/POIMENIK (Penasihatan).

Dalam melaksanakannya ada beberapa lapisan hidup beriman yang pantas mendapat perhatian kita, sebagaimana St. Yoseph telah melayani Maria dalam membesarkan Sang Putera. Refleksi bersama St. Yoseph itu mengajak kita me-REFLEKSI-kan:

  1. Apakah keenam Lorong Sempit itu kita coba laksanakan dengan kerendahan hati: mewartakan bukan dengan mengandalkan panggung melainkan pengakuan, bahwa Allah yang dimuliakan?
  2. Apakah Keenam Lorong Sempit itu kita coba laksanakan dengan mendahulukan kerja keras, bukannya pujian dari siapa pun; bahkan dari diri sendiri pun?
  3. Apakah Keenam Lorong Sempit itu kita coba laksanakan bersama dengan Bunda Maria dan rekan-rekan kita, tanpa menempatkan diri kita di atas mereka; bahkan menempatkan diri kita hanya sebagai bayang-bayang mereka?
  4. Apakah Keenam Lorong Sempit itu kita coba laksanakan sebagai wujud spiritualitas kita untuk mendengarkan terus menerus Bisikan Roh Allah?
  5. Sejauh manakah Keenam Lorong Sempit itu kita coba susuri dengan pergulatan tanpa memperhitungkan imbalan dari siapa pun; hanya selalu mencermati Kehendak Allah?

***** Apakah kita membangun komunitas kita bersama St. Yoseph dengan mengandalkan rahmat Allah seraya menjaga kerendahan hati? Sebab Sang Terbangkitkan sudah berjanji bahwa Roh Kudus akan menyertai sampai akhir zaman.

Silakan mempertimbangkan.