REFLEKSI ATAS TAHTA PETRUS

February 22, 2022


Kita semua tahu apa itu kursi. Mau dibuat dari bahan semahal apapun dan dibuat seindah apapun, fungsi utama dari kursi itu sama, yaitu untuk duduk. Demikian pula tahta.

Mereka yang berhasil menduduki tahta memiliki status yang amat istimewa. Itu bisa berarti bahwa mereka sangat berkuasa, kaya atau berwibawa.

Karena tahta itu memberikan pelbagai keistimewaan, fasilitas, dan kehormatan, banyak orang memperebutkannya. Hiruk pikuknya kampanye pemilihan umum presiden dan legislatif menegaskan betapa menggiurkannya kursi.

Gereja Katolik juga mengenal tahta. Namanya tahta Santo Petrus. Sang Guru Kehidupan bersabda kepada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat 16: 18-19).

Kedudukan itu menggiurkan untuk para murid yang lain, karena mereka pernah bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka (Luk 22:24; Mrk 9:34). Waktu itulah Sang Guru menegaskan bahwa barangsiapa ingin menjadi terbesar hendaklah menjadi pelayan (Mrk 9:35; Mat 6: 26-27).

Jadi, kedudukan adalah fasilitas untuk melayani. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar dan luas pelayanannya. Kedudukan itu bukan sumber mengeruk keuntungan.

Semangat itu benar-benar dihayati oleh Santo Petrus sebagai penatua. Karena itu dia menasihati penatua lain. “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (1 Ptr 5: 2).

Tahta Santo Petrus yang diduduki paus itu kursi pelayanan. Maka, paus itu disebut pelayan dari semua pelayan. Sebutan ini menegaskan bahwa kerendahan hati adalah syarat yang perlu dimiliki para pemimpin.

Selasa, 22 Februari 2022
Pesta Tahta Santo Petrus
RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.