“ÉTUNG-ÉTUNGAN”

August 18, 2021


Skema relasi kaum feodal dan penggarap tanah berlanjut di era industri. Wujudnya berubah, tapi intinya tetap sama. Di sana ada yang memberi dan menerima upah. Kaum pekerja biasanya amat bergantung pada mereka yang membayarnya. Tenaga, waktu dan keahlian dibeli. Seiring dengan kemajuan zaman relasi itu amat diwarnai dengan perhitungan. “Ijir,” orang Jawa Timur bilang. “Étung-étungan!”

Jauh hari sebelumnya, mental itu sudah ditemukan dalam benak orang yang dipekerjakan paling awal (pagi) dalam perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur (Mat 20: 1-16). Dia mengira bahwa sebagai yang dipekerjakan sejak pagi dan bekerja seharian di bawah terik matahari akan menerima upah jauh lebih banyak daripada yang bekerja dari jam 17.00 dan hanya bekerja satu jam (Mat 20: 11-12). Bukankah dia memang pantas mendapat upah lebih banyak?

Ternyata, sang pemilik kebun anggur memberi upah yang sama, satu dinar (upah sehari) baik kepada yang datang pagi, siang maupun sore. Sang majikan tidak adil menurut ukuran dan kacamata manusia. Namun dalam kacamata sang majikan (Tuhan) model pembayaran itu adil. Kok bisa ya?

Perumpamaan ini berbicara tentang upah yang wujudnya pemberian dari Allah. Upah yang berupa kasih dan rahmat-Nya diberikan secara sama kepada siapa saja yang bekerja di kebun anggurnya; entah dia presiden yang memikul tanggung jawab sangat berat entah dia adalah rakyat. Seseorang yang hidup pada zaman dahulu atau pada zaman sekarang. Bukankah untuk Allah satu hari sama dengan seribu tahun?

Upah yang diberikan ke setiap pekerja itu kasih Allah yang memberi Diri seutuhnya; tanpa diskriminasi. Tak ditambah, tak dikurangi. Dia memberikan Diri seratus persen. Kapan saja dan kepada siapa saja.

Mereka yang meyakini dan memahami ini akan mengalami dalam hidup sehari-hari. Inilah upah (pemberian) yang pantas disyukuri. Telah terjadi dan mungkin bakal terjadi bahwa seseorang telah berbuat jahat dan menjauh dari kasih Allah. Namun kapan pun dia kembali kepada-Nya, Allah akan menyambutnya. Dia menunggu dengan tangan terbuka. Kasih Allah tanpa “étung-étungan.”

Rabu, 18 Agustus 2021
RP Albertus Herwanta, O. Carm.