Keberagaman itu Menyatukan, Jangan Diingkari

May 16, 2021

Oleh Romo John Kota Sando

Ut omnes unum sint – Semoga mereka semua bersatu. Inilah doa Yesus kepada para murid-Nya dan kepada kita semua pengikut-Nya, agar kita senantiasa hidup di dalam persatuan. Doa Yesus ini tersua dalam Injil Yohanes 17:11: “Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti kita”.

Doa Yesus tersebut tidak bermaksud menghapus perbedaan  di antara manusia, karena Tuhan menciptakan setiap manusia dengan keunikannya masing-masing. Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk memisahkan, tetapi untuk menyatukan dan saling melengkapi. Yesus mengucapkan doa tersebut karena Ia tak ingin bangunan kasih yang telah didirikan-Nya melalui Salib dinodai dan dihancurkan oleh perpecahan di antara manusia. Karena hanya kasih yang dapat menyatukan manusia, sehingga melaluinya mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian hidup.

Perbedaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kehidupan justru dimulai dari perbedaan, atau dengan kata lain perbedaan-lah yang menggerakkan kehidupan. Dunia menjadi indah dan kaya karena keberagaman. Allah menciptakan keberagaman untuk saling melengkapi dan menghidupi. Maka akan terasa aneh, jika manusia tidak menerima hidup dalam perbedaan.

Seringkali kita menemukan adanya pandangan yang salah tentang keberagaman. Ada saja orang-orang di sekitar kita yang ingin mengganti keberagaman dengan keseragaman. Mereka menganggap keseragaman sebagai kekuatan dari kebersamaan. Sebaliknya tidak seragam dianggap sebagai kelemahan dan sumber keretakan.

Tidak jarang dalam  hidup bersama, manusia menciptakan keseragaman dengan cara menekan dan menyisihkan yang berbeda dengannya. Orang-orang yang radikal dalam hidup keagamaan akan cenderung melihat mereka berbeda agama, berbeda cara pikir, cara pandang dan kebiasaan sebagai kelompok yang tidak sejalan. Dengan alasan itu, harus disisihkan di luar garis keseragaman, dibatasi ruang geraknya dan di-stigma sebagai kafir.

Cara berpikir seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh Yesus  karena bertentangan dengan hukum cinta kasih. Kenyataan inilah yang mendorong-Nya untuk berdoa, agar seluruh umat manusia hidup dalam persatuan. Kisah Para Rasul 1:15-26 menyinggung tentang Yudas Iskariot sebagai gambaran manusia yang hidup untuk dirinya sendiri. Demi kepentingan diri, ia menodai kesetiaannya pada Yesus dan mengkhianati kebersamaannya dalam kelompok para rasul. Matias dipilih untuk menggantikan Yudas Iskariot, agar kebersamaan para rasul kembali dibangun   menjadi utuh dan dapat menjadi tempat bertumbuh suburnya semangat persatuan. 

I Yohanes 4:11-16 mengingatkan kita bahwa tanpa persatuan dengan Allah, kita tidak akan hidup di dalam kasih, dan tanpa kasih kita tidak dapat membangun persatuan di dalam keberagaman. Keberagaman membuat kita saling mengasihi, saling menghargai dan menghormati serta saling mengisi dan melengkapi.

Sebagai umat Kristiani kita hanya dapat membangun semangat persatuan kita dengan orang lain, kalau kita sendiri lebih dahulu membangun persatuan dengan Yesus. Melalui persatuan dengan Yesus  perbedaan menjadi daya juang bersama dalam persekutuan untuk menghasilkan kedamaian dan kesejahteraan bersama.

Para suami-istri dan anak-anak hanya dapat mewujudkan persatuan dan kebersamaan dalam keluarga, kalau mereka sungguh bersatu dengan Yesus dan menjadikan Yesus sebagai pemimpin utama dalam keluarga. Apa jadinya jika para gembala umat tidak sungguh membangun relasi personal yang intim dengan Yesus atau tidak mendasarkan kepemimpinan mereka pada kepemimpinan Kristus? Bisa saja mereka berkata dan bertindak dengan pikirannya sendiri, yang pada gilirannya akan menimbulkan perpecahan dan kebingungan di kalangan umat. Apa jadinya jika para imam, biarawan-biarawati tidak sungguh membangun kebersamaan dan persaudaraan dalam semangat Kristus? Masihkah mereka bahagia dan ikhlas dengan panggilan dan pelayanan mereka? Tanpa bersatu dengan Kristus, kita akan tetap bertahan dengan ego kita masing-masing. Dan itulah yang membuat kita sulit melihat perbedaan sebagai kekayaan dan kekuatan untuk membangun persatuan, kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup ini.

Ada sebuah pepatah Tiongkok yang mengatakan:  “Sepuluh lidi yang diikat menjadi satu,  lebih kokoh dibanding seribu lidi yang tercerai-berai”. Paus Fransiskus mengatakan, “Air tidak meminum airnya sendiri. Pohon tidak memakan buahnya sendiri. Matahari tidak bersinar untuk dirinya sendiri. Dan bunga tidak menyebarkan keharumannya untuk dirinya sendiri. Hidup untuk bersatu dan berdampingan dengan orang lain adalah hukum alam”.  Semoga kita senantiasa sadar bahwa kita dilahirkan untuk bersatu dan berbagi dengan sesama. Karena itu Yesus berdoa untuk kita, “Ut omnes unum sint – semoga mereka semua bersatu”. Amin

Salve dan Berkat Tuhan dari Merauke.