TEMPORARY

November 24, 2020

Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm

Arti dari “temporary” adalah sementara atau bertahan hanya untuk waktu tertentu. Inilah yang menjadi sifat dari semua yang ada di luar Allah atau bukan Allah. Bahkan orang dan benda yang amat suci pun bersifat amat sementara. Kitab Suci juga bukan Tuhan.

Mengagungkan, apalagi menyembah semua yang “temporary” bisa berarti memuja berhala alias “idolatry”; dosa yang dilarang semua agama. Mengagumi barang duniawi secara berlebihan bisa menjauhkan manusia dari Tuhan. “Perbudakan spiritual,” kata Buya Syafii Maarif.

Tatkala orang mengagumi bangunan Bait Allah di Yerusalem, Sang Guru Kehidupan mengingatkan dengan bersabda, “Akan tiba harinya segala yang kalian lihat di situ diruntuhkan, dan tidak akan ada satu batu pun dibiarkan terletak di atas batu yang lain” (Luk. 21: 6). Sabda-Nya itu terpenuhi tatkala kota Yerusalem diluluhlantakkan oleh pasukan Romawi.

Sejak dahulu hingga kini manusia masih mengulang kesalahan yang sama, yakni memuja manusia dan benda-benda yang bukan Tuhan. Nasib mereka akan sama dengan sesembahannya. Yang memuja uang cepat hilang; berpindah tangan tanpa jelas identitas dan tempatnya. Mengagungkan kekuasaan menghantar manusia kepada kekerdilannya. Kekuasaan ada batasnya. Manusia yang mendewakan teknologi yang membuat hidup jauh lebih mudah ternyata hidupnya masih susah. Kapan manusia modern sepenuhnya bebas dari pelbagai masalah sampah? Itu baru satu.

Benar, yang mengidentifikasi diri dengan yang bukan Allah akan berakhir sebagai sampah. Upaya itu dilakukan hanya oleh orang kurang pekerjaan yang mencari susah. Bukankah identitas sejati manusia sudah ditetapkan, yakni bahwa manusia itu citra Allah (Kej 1: 26)? Betapa mulia martabat itu! Mengapa manusia memerosotkan diri dan menyamakan diri dengan yang serba “temporary”?

Seperti nasib Bait Allah di Yerusalem, mereka itu akan dihancurkan berkeping-keping. Mereka yang mengangkat diri sebagai objek pujaan, pengganti Tuhan, bakal dihancurkan. Bukan oleh Tuhan, tetapi oleh ulahnya sendiri. Perbuatannya yang bertentangan dengan kodrat dan panggilan dirinyalah yang mengantarkannya kepada kehancuran.

Manusia dipanggil kepada keabadian; bukan “temporary” atau kesementaraan. Rumah ibadah sejati bukan bangunan agama yang megah, melainkan hati manusia yang perlu dijaga kesuciannya. Di sanalah Allah berkenan bertahta selamanya; bukan “temporary.”

Malang, 24 November 2020
PW Santo Andreas Dūng Lac, dkk Martir