Tanya Jawab dengan Romo Chris Purba: Siapa yang Termasuk Hierarki, dan Apa Tugas Mereka?
Salam jumpa, Romo.
Saya Bella Nia Stefany dari Bandung. Saya masuk Katolik belum lama, baru 7 bulan. Pengetahuan saya tentang Katolik belum banyak.
Romo saya masih bingung dengan tugas dan kerja hierarki di Gereja Katolik. Yang masuk dalam hierarki Gereja Katolik siapa saja, dan apa tugas masing-masing.
Oya, kalau Kardinal itu tugasnya apa, dan siapa yang boleh jadi kardinal? Mohon penjelasan, Romo. Terima kasih.
Bella Nia Stefany (Bandung)
Shaloom Bella, berarti asal-usul atau pemerintahan yang kudus. Pada umumnya hierarki berarti tata-susunan vertical suatu kelompok orang. Mis. susunan kasta-kasta dalam Hinduisme. Perkataan ‘hierarki’ digunakan untuk jenjang-jenjang kepegawaian, kemiliteran, untuk tingkatan di dalam suatu kawanan binatang, dan juga untuk skala nilai-nilai, dlsb.
Dalam bahasa yuridis (hukum) Gereja, hierarki merupakan tata susunan sekelompok pejabat dalam umat beriman, yang dipanggil untuk merepresentasikan Kristus yang tak kelihatan sebagai Kepala TubuhNya, yang adalah Gereja. Hierarki dapat diartikan (a) secara obyektif sebagai tingkatan-tingkatan dalam tata-susunan Gereja, dan (b) secara subyektif sebagai pemangku-pemangku ‘kekuasaan’ suci atau – lebih tepat – tugas pelayanan (ministeria) untuk membangun umat beriman secara rohani, supaya setiap orang beriman sedapat-dapatnya dapat berpartisipasi dalam seluruh kehidupan Gereja. Dengan demikian, arti pertama hierarki sebagai “awal kesucian” yang menyebarluas, menjadi lebih penting daripada ‘pemerintahan’ yang kudus.
Hierarki dalam Gereja Katolik di satu pihak dapat meningkatkan efisiensi, tetapi di lain pihak dapat menimbulkan bahaya, yi. bahwa umat biasa (awam) merasa tidak perlu terlibat, sehingga menjadi pasif (kawanan domba yang menuruti gembala).
Tokoh-tokoh Reformasi, Luther dan Calvin, mengkritik dan menghapus sifat hierarkis Gereja. Sedangkan “Kontra-reformasi” menekankan hierarki (episkopat, imamat, diakonat) sebagai susunan yang diadakan atas perintah ilahi. Dengan semakin menekankan peranan Paus, maka tingkatan-tingkatan hierarkis lainnya semakin kurang berarti, sehingga Gereja Katolik tampak sebagai Gereja Kepausan atau Gereja Romawi.
Konsili Vatikan II di satu pihak mengakui sepenuhnya kedudukan paus, tetapi di lain pihak melengkapinya dengan menekankan kembali martabat para uskup, peranan dewan-dewan sinodal dan sifat fundamental Gereja sebagai satu Umat Allah. Semua anggota Gereja pada dasarnya sama derajatnya dalam mengambil-bagian dalam Imamat, Kerajaan dan Kenabian Kristus, jauh sebelum kita membedakan fungsi jabatan-jabatan pelayanan demi umat. Semua tingkatan imamat jabatan (hierarki) ada demi imamat seluruh umat beriman dan bukan sebaliknya.
Jadi, di satu pihak, susunan hierarkis Gereja tak dapat diganggu-gugat karena berdasarkan kehendak Kristus sendiri. Di lain pihak, susunan hierarkis ini seluruhnya demi hal yang lebih penting, yakni demi pelayanan akan kebenaran dan persatuan, baik di dalam Gereja maupun antara Gereja-gereja, dan bahkan demi persatuan seluruh umat manusia.
Pejabat-pejabat hierarkis bukan “penguasa suci”, melainkan abdi pada pembangunan Umat Allah, supaya semakin menjadi Tubuh Kristus yang tersusun rapi dan Bait Roh Kudus yang indah. Oleh karena itu tidak boleh terjadi, bahwa umat tidak dapat dilayani dengan Sakramen dan Pewartaan, karena anggota hierarkis kurang.
Pelayanan umat lebih penting daripada status hierarkis orang-orang. Konsili Vatikan II mengatakan, “Jesus senantiasa menyediakan anugerah-anugerah pelayanan dalam TubuhNya, yi. Gereja. Berkat anugerah ini dan terdorong oleh kekuatanNya, kita saling melayani untuk memperoleh keselamatan, supaya dalam segala hal kita berkembang ke arah Dia yang adalah Kepala kita, dengan mengamalkan yang benar dalam semangat cintakasih” (bdk. LG 7; Ef 4,11-16).
Hierarki dibagi menjadi hierarki-tahbisan (ordo) dan hierarki-jabatan (yurisdiksi) yang sejajar dengan wewenang tahbisan/pengudusan dan wewenang kegembalaan. Dasarnya adalah Sakramen Tahbisan yang dilengkapi oleh pengutusan kanonik. Dalam hierarki-tahbisan, tiga tingkatan termasuk hukum ilahi, yi. uskup, imam, dan diakon. Jabatan lainnya seperti akolit dan lektor merupakan pengangkatan, dan termasuk hukum gerejawi.
Dalam hierarki-jabatan (yurisdiksi), hanya jabatan tertinggi paus (sebagai gembala umum) serta kolegium para uskup (dengan paus sebagai kepalanya), dan jabatan uskuplah yang termasuk hukum ilahi. Semua jabatan lain dalam Gereja (kardinal, prefek apostolik, jenderal ordo/kongregasi dan provinsial), hanya mengambil-bagian dalam wewenang kepausan. Sedangkan jabatan lain seperti vikaris jenderal, vicaris episcopalis, deken, pastor paroki, mengambil-bagian dalam wewenang uskup.
Seluruh Gereja dibagi menjadi propinsi gerejawi (kepalanya uskup agung), keuskupan (atau wilayah yang setaraf), kevikepan/dekanat dan paroki.
Dalam perjalanannya, juga muncul sikap anti-hierarki. Itu karena penyalahgunaan jabatan dalam Gereja oleh pemegangnya. Bahaya itu memang terdapat sejak semula, seperti kita bisa lihat dalam Surat-surat Rasul Paulus, karena hierarki terdiri dari orang yang berdosa juga. Maka, bukan orang yang memegang jabatan itu suci (pun pula Bapa Suci tidak), melainkan fungsi jabatan itu di dalam dan demi Gereja.
Penolakan hierarki biasanya didasarkan pada kebenaran Imamat Jesus sebagai satu-satunya Imam Perjanjian Baru dan imamat umum semua orang beriman. Akan tetapi, sebagaimana imamat umum mengambil-bagian dalam Imamat Kristus, demikian juga imamat jabatan dengan cara berbeda. Segala jabatan dalam Gereja adalah pengabdian, bukan kekuasaan. Tetapi untuk mengabdi kepentingan umat dengan baik, kadang-kadang kekuasaan diperlukan juga.
Kardinal
Sekarang menjawab pertanyaan kedua Bella tentang kardinal. Begini kurang lebih kisahnya. Pada abad keenam seorang kardinal dianggap sebagai cardo (Latin à engsel), yi. ‘engsel’ keuskupan; untuk menggambarkan imam-imam yang dianggap sebagai “engsel” atau bagian penting dari komunitas gereja di Roma. Maka, para diakon dan imam, yang secara khusus terlibat dalam urusan keuskupan, disebut kardinal. Di keuskupan Roma kala itu ada 7 diakon regional, yang disebut kardinal. Dan sejak abad ke-8, 25 pastor kepala paroki dan 7 uskup kota-kota kecil di sekitar Roma juga disebut kardinal.
Tahun 1059 para kardinal di Roma menjadi penting, karena kepada mereka diberi hak eksklusif untuk memilih paus (baru). Sejak abad ke-12, para cardinal semakin diikutsertakan dalam kepengurusan Gereja universal dan membentuk semacam senat kepausan dengan uskup dari Ostia sebagai dekannya. Dan dekan ini berhak menobatkan paus yang baru terpilih.
Sejak saat itu juga abas-abas beberapa biara penting dan uskup-uskup dari luar Roma diterima ke dalam dewan kardinal. Pada abad-abad sesudahnya, keluarga-keluarga bangsawan di Roma, raja-raja dan negara-negara Eropa semakin berpengaruh dalam Gereja, sehingga banyak orang kepercayaan mereka diangkat menjadi kardinal.
Dewan kardinal pun menjadi kancah politik, sehingga kepentingan-kepentingan nasional semakin menentukan dan lembaga kepausan jadi semakin lemah. Khususnya selama paus menetap di Avignon, Perancis (1309 – 1376) dan pecahnya dunia Barat (1378-1417). Kedua hal ini menimbulkan dua dewan kardinal yang tidak saling mengakui.
Pada abad ke-14 sampai ke-16 banyak anggota keluarga para paus diangkat menjadi kardinal (nepotisme). Sehingga tugas dan peranan kegerejaan anggota-anggota kardinalat praktis diabaikan. Mereka menjadi “pangeran gerejawi” yang memajukan kesenian dan sastra.
Pada tahun 1586, untuk memperbaharui dewan kardinal, jumlah kardinal ditetapkan paling banyak 70 orang, dan kongregasi/ departemen kuria dipimpin seorang kardinal bersama beberapa koleganya. Sejak abad ke-19 dewan itu semakin diinternasionalisasikan, walaupun sebagian besar tetap orang Italia.
Baru dalam KHK (Kitab Hukum Kanon) 1917 ditentukan, bahwa seorang kardinal haruslah lebih dahulu ditahbiskan menjadi imam. Sebelumnya, adanya ”kardinal awam” menjadi hal biasa. Mis. Giacomo Antonelli (wafat 1876).
Pada tahun 1962, Paus Yohanes XXIII menetapkan bahwa kardinal mesti ditahbiskan menjadi uskup (KHK Kan 351 § 4). Paus ini juga menambah jumlah anggota dewan kardinal. Pada masa Paulus VI (pengganti Yohanes XXIII), tahun 1973 ada 145 kardinal.
Sesudah Konsili Vatikan II terjadi beberapa perubahan lagi. A.l. masa tugas kardinal dibatasi: umur 80 tahun berhenti sebagai pejabat departemen kuria dan tidak lagi berhak ikut serta dalam pemilihan paus.
Para batrik Ritus-ritus Timur, yang memimpin keuskupan-keuskupan yang berasal dari zaman para Rasul, dapat diberi gelar kardinal juga. Tetapi, karena martabat dan jabatan mereka sudah ada jauh sebelum martabat dan jabatan kardinal diadakan, maka mereka tidak menjadi pastor tituler keuskupan Roma. Mereka diberi gelar kardinal sebagai penghormatan atas kesenioran mereka.
Kedudukan para kardinal sekarang ditentukan dengan beberapa ketetapan kepausan dan KHK 1983 Kan 349-359: Sebagai penasihat utama paus, mereka membentuk suatu dewan yang terdiri dari tiga golongan. Pertama, golongan episkopat.
Mereka adalah kardinal uskup, diangkat menjadi uskup tituler di salah satu keuskupan di sekitar Roma dan para batrik Gereja Timur. Kedua, golongan presbiterat. Mereka adalah kardinal imam, sebagian beşar uskup diosesan dari seluruh dunia. Ketiga, golongan diakonat. Mereka adalah kardinal diakon, pejabat curia di Vatican.
Tiga golongan ini sesuai dengan gelar Romawi yang diberikan kepada mereka oleh paus. Jumlah dewan kardinal yang berhak memilih paus dibatasi pada 120 orang dan berumur di bawah 80. Pada 1 Juli 2024, ada 125 kardinal elector (yang punya hak pilih dan dipilih dalam konklav) dari 236 kardinal di seluruh dunia.
Ada juga pemberian gelar kardinal “in pectore” (Latin, artinya “dalam hati”). Mereka dipilih oleh paus, tetapi karena alasan politis, pengangkatannya tidak/belum diumumkan.
Kardinal dipilih oleh paus dengan bebas dan baru resmi menjadi anggota dewan setelah melewati tiga tahap. Tahap pertama, nama mereka diumumkan dan disetujui dalam pertemuan tertutup antara paus dan para kardinal yang sudah menjadi anggota dewan kardinal. Tahap kedua, keputusan rapat disampaikan kepada para calon yang terpilih melalui surat. Akhirnya, upacara pelantikan meriah, terbuka, dan dihadiri para kardinal, mereka menerima biret merah (topi bersegi empat) dan cincin dari paus.
Warna pakaian khas para kardinal sejak abad ke-13 adalah merah lembayung, sebagai lambang kesiap-sediaan mencurahkan darah mereka demi iman dan pengabdian seluruh diri kepada Gereja.
Gelar ‘kardinal’, kendati melambangkan penghormatan tinggi, tidak menandakan tambahan kuasa imamat atau yurisdiksi gerejawi.
Sekarang ini banyak uskup dari seluruh dunia diangkat menjadi kardinal untuk menampakkan sifat universal (= catholicus; Yunani) Gereja Katolik, yang tidak mengenal diskriminasi ras, bangsa dan bahasa. Berkat alat-alat transportasi modern, paus dapat didampingi dewan penasihat dari seluruh dunia, yang semakin mewakili keanekaan Gereja Gereja Partikular seluruh dunia.
Indonesia sendiri mendapat kardinal pertama 1967, Justinus Kardinal Darmojuwono, kala itu Uskup Keuskupan Agung Semarang. Kardinal kedua, 1994, Julius Kardinal Darmaatmadja, kala itu juga Uskup Keuskupan Agung Semarang. Dan 2019, kardinal ketiga, Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta.
Demikian Bella. Semoga menjadi lebih paham. Salam dan berkat Tuhan.
***