Romo Chris Kristiono Puspo SJ: Pandang Wajah Allah pada yang Tersingkir

September 28, 2021

Romo C. Kristiono SJ

Saat itu imam Jesuit yang juga alumni Ilmu Sosial Politik UNS Solo ini adalah pastor rekan di Katedral Jakarta dan tengah menjalani masa formasi, yakni tersier selama 6 bulan. Sepulang dari pelayanan di Medan, ia mendapat penugasan menjadi Direktur LDD. Pengalaman mengurus pengungsi membawanya memperluas pelayanan LDD kepada pengungsi.

Dalam pelayanannya di LDD, sehari-hari Romo Kris selalu mengalami perjumpaan dengan pelbagai kelompok seperi disabilitas, Waria, pengungsi dan lain-lain. Mereka ini dari berbagai kalangan dan agama.

Dalam refleksinya, dari orang-orang yang ia layani tersebut dia belajar beriman. “Kita bisa membayangkan bagaimana kaum disabilitas harus berjuang dengan keterbatasannya. Atau bagaimana para Waria berjuang hidup di jalan, para buruh dan pengungsi harus kuat dalam pergulatan yang tidak ringan. Saya juga belajar kontemplatif; memandang mereka sekaligus memandang Allah.  Saya yakin, Allah hadir dalam situasi-situasi perjuangan hidup mereka,” ujarnya.

Jelasnya lebih jauh, “Dalam pelayanan ini kita diajak untuk mau menemani, mendampingi dan mewujudkan agar wajah Allah semakin jelas tampak. Wajah Allah sudah ada pada mereka, tapi dengan kehadiran kita, gambar Allah itu semakin jelas atau sempurna.”

Menurut mantan Direktur Produksi ATMI Cikarang ini, dalam melayani pihak-pihak tersebut, sikap yang pertama dan utama yang harus dimiliki adalah mau menemani. Seperti pelayanan kepada Waria, tidak akan ada perubahan jika tidak mencoba mendekati dan menjadi teman mereka terlebih dahulu. Karena dengan menemani, terjadi dialog bahkan kemudian terjadi dialog dengan perasaan-perasaan sendiri juga. Dengan dialog itu, pelan-pelan akan ada usaha bersama untuk menemukan, apa yang dibutuhkan.

Ini akan muncul dalam pendekatan yang mungkin berhari-hari atau berbulan-bulan. Tapi jangan lupa juga, tambahnya, pertama-tama kalau mereka lapar, ya harus dibantu. Tapi kemudian, harus ditemukan bagaimana mereka menjadi tangguh. “Jangan datang-datang membawa konsep lalu dengan mudah menentukan kebutuhan. Tidak begitu. Jadi menurut saya, dengan menemani atau hadir, akan muncul tiga hal: karitatif, pemberdayaan dan advokasi. Bagaimana kita mendapatkan tindakan konkret kalau kita tidak menemani dulu?,” tanyanya retoris.

Penugasannya di LDD nyambung dengan pengalaman dan background pendidikannya sebelum masuk Jesuit. ”Dari ilmunya saya punya, dan aktifitas saya banyak di dunia sosial. Sebelum masuk Jesuit saya bersama dengan Alm. Romo Adi Wardoyo SJ. Beliau sangat kuat dalam perjuangan-perjuangan sosialnya,” jelasnya.

Boleh dikatakan, Romo Kris adalah anak didik Romo Adi. Dan dia masuk Jesuit terutama karena keprihatinannya pada orang miskin.

Dalam pelayanan semacam yang ia dan kawan-kawan geluti jelasnya, sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap pelayan atau relawan adalah kerelaan terlibat dan turun ke lapangan untuk memanusiakan manusia. Dengan tujuan itu, maka seharusnya tidak ada ketergantungan. “Kalau akhirnya kita abuse kepada mereka karena kita punya uang, atau kita sebagai donatur, ini bukan memanusiakan manusia. Tindakan konkretnya adalah terlibat dan melayani,” pungkasnya.

EMANUEL DAPA LOKA