Renungan Harian – Selasa, 22 Januari 2019

January 22, 2019
renungan harian katolik
22 Januari, 2019
SELASA (Hijau)
Ibrani 6: 10-20
Mazmur 111: 1-2, 4-,9-10
Markus 2: 23-28
ISTIRAHAT CUKUP – MISA TAK PERNAH DILUPAKAN
“Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk haroi Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat” — Markus 2: 27-28
DI ZAMAN YESUS, sering ada protes dari orang-orang Farisi kepada Yesus tentang pelanggaran aturan hari Sabat. Ini menandakan bahwa masyarakat Yahudi waktu itu sudah mapan. Mereka bisa melaksanakan apa yang diperintahkan agama, dengan bebas dan tenang serta teratur. Di mana-mana ada sinagoga. Umat patuh taat pada peraturan Agama.
Di tanah air kita khususnya di kota-kota besar di mana ada gedung gereja di paroki-paroki, umat katolik bisa merayakan Ekaristi tiap hari Minggu. Jangan tanya di desa-desa, stasi-stasi, apalagai di NTT dan Papua. Satu pastor bisa untuk dua-tiga paroki, belum tentang jarak dari stasi ke pusat paroki dan ke stasi yang lain. Untung di beberapa Paroki d Keuskupan Jayapura, dibantu dengan adanya seorang bapak yang ditahbiskan menjadi ‘diakon-permanent’. Tentu kritik orang-orang Farisi untuk umat kita di sini di zaman ini dan dalam keadaan penggembalaan seperti di atas, boleh dikata ‘salah alamat’.
Tanggapan Yesus, terkutip di atas memberi kesan bahwa Yesus tidak berminat akan peraturan agama, khususnya dalam hal ritual. Kita –umat manusia- diciptakan Allah tidak pertama dan utama guna memenuhi kewajiban hari Minggu. Bagaimana tentang pernyataan Yesus ‘hari Sabat dibuat untuk manusia’, bukan manusia untuk hari Sabat ? Mengapa demikian ?
Dalam Kitab Kejadian, diungkapkan bahwa Allah berhenti dari pekerjaan-Nya (Kej 2: 3; Kel 20: 8-10). Hari Sabat memberi kesempatan orang untuk istirahat. Ini yang pertama. Tetapi ada lagi ! Hari Sabat orang tidak hanya istirahat dari pekerjaan yang rutin, hari-ke-hari, tetapi juga mengingatkan kita tentang ‘jati diri kita – siapakah kita ini-‘ yakni ‘dalam relasi kita dengan Allah yang menciptakan kita. Maka adanya kewajiban bagi umat katolik menghadiri perayaan Ekaristi di hari Minggu, mengingatkan kita terus pada dasar terdalam dari iman kepercayaan kita ini.
Kita-lah yang membutuhkan Tuhan Allah, bukan sebaliknya. Kita berhutang dalam Ibadat Ekaristi ini pada Allah. Ini sebagai bentuk wujud rasa keadilan: Kita mengucap syukur karena Tuhan Allah lebih dahulu berbuat sesuatu yang luar biasa kepada diri kita. Tuhan Allah sama sekali tidak membutuhkan kita dan dari kita apapun. Justru kitalah yang sangat beruntung dengan adanya hari ‘Sabat’, atau hari Minggu kita bersyukur dalam Ekaristi.
Tuhan Allah adalah Bapa kita. Maka bisa diupamakan Tuhan itu sebagai seorang ‘bapa’ yang baik bagi anak-anaknya. Allah sangat berkenan melihat kita makan dan minum secukupnya, beristirahat dengan tidur secukupnya, dan muncul memperlihatkan diri kita di hari Minggu untuk bersykur bersama keluarga dan teman serta tetangga-tetangga kita.
Doa : Ya Bapa, bantulah aku agar aku tetap mentaati menguduskan hari
Minggu.
Janji : “Pengharapan itu adalah sauh (jangkar) yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita…” — Ibrani 6:19-20
Pujian: Toto dan Tina, meski belum sambut Komuni pertama, telah terdaftar sebagai putra-putri altar dan bertugas dalah Misa di hari Minggu. Ibunya merasa kaget bercampur kagum karena anaknya yang baru tahun depan boleh mempersiapkan diri untuk Sambut Pertama, minta selalu dibangunkan pagi-pagi dan diantar ke gereja, jangan sampai terlambat untuk pelayanan Misa sebagai putri Altar.