HUKUM KARMA, ADAKAH?

June 16, 2021

Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm


Akhir-akhir ini berseliweran di media sosial tema menarik, yakni karma. Orang menghubungkan nasib buruk yang menimpa beberapa “tokoh” sosial dengan perilakunya di masa lalu. Keadaan yang kini menimpa mereka itu dibaca sebagai karma.

Biasanya orang lebih cepat dan mudah menghubungkan karma itu dengan sesuatu yang negatif dan buruk. Mengapa karma baik jarang dibahas? Apakah memang tidak ada, tidak perlu atau tidak menarik?

Sang Rasul Agung menulis, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Kor 9: 6-7). Bukankah nyata bahwa yang positif akan berbuah positif pula? Yang banyak berbuat baik akan memetik kebaikan berlimpah.

Karma itu juga terwujud dalam perilaku beragama. Minimal dalam tiga tindakan utamanya, yakni amal, doa dan puasa. Ketika beramal hendaknya orang melakukannya secara tulus, bukan untuk aksi-aksian, karena Tuhanlah akan membalasnya secara sempurna (Mat 6: 4).

Waktu berdoa sebaiknya orang benar-benar mengarahkan seluruh diri kepada Tuhan; bukan mencari pujian kiri-kanan. Tuhanlah yang akan menjawab doa. Memang yang bisa menjawab doa, ya hanya Tuhan (Mat 6: 6). Dalam hal ini pujian manusia itu kosong dan sia-sia.

Akhirnya, berpuasa bukanlah saat untuk unjuk muka; apalagi aksi memaksa sesama yang tidak ikut berpuasa. Ibadah mulia itu merosot dan kehilangan makna, karena orang menggunakannya untuk tujuan fana; bahkan hina. Puasa sejati tampak terang benderang di hadapan sang ilahi (Mat 6: 18).

Singkatnya, semua perbuatan akan ada buahnya. Yang baik akan berbuah baik; yang buruk menghasilkan akibat negatif dan jelek. Semua kembali kepada pelakunya. Itulah sejatinya hukum karma.

Rabu, 16 Juni 2021