Corona, Kutuk atau Berkat?

November 27, 2020

Shalom Romo. Romo Chris, salam jumpa. Semoga Romo sehat-sehat selalu. Saya Antonius Padua S.L dari Pontianak. Saya ingin minta pencerahan dari Romo. Dilanda virus Corona dan sangat mematikan dan menjadi hantu yang sangat menakutkan di dunia, bahkan ada Negara yang sampai kesulitan menguburkan jenazah.

Nah, bagaimana sebaiknya kita memandang virus ini? Ini sebagai penyakit biasa saja atau merupakan peringatan dari Tuhan? Atau secara “negatif”, apakah ini merupakan kutuk dari Tuhan, karena penghuni dunia ini sudah terlalu banyak melawan Tuhan?

Mohon pencerahan dari sisi iman Katolik dan dari tinjuan Kitab Suci. Terima kasih banyak, Romo.

Antonius Padua S. L

Pontianak

Dear Anton:

          Virus Corona masih menjadi buah bibir dan menguncang dunia. WHO (badan kesehatan PBB) memberi nama resmi Covid-19 (singkatan dari kata ‘corona’, ‘virus’, ‘disease’, dan tahun 2019). Sedangkan Komite Taksonomi Virus Internasional menetapkan nama baru virus corona baru di Wuhan denggan nama SARS-CoV-2. Vitus Corona tidak hanya telah mengoncang dunia, tetapi juga mengoncang iman banyak orang (dimana Tuhan saat krisis begini). WHO pada tgl 11 Maret 2020 lalu meningkatkan status penyebaran Covid-19 menjadi pandemic global. Artinya penyebaran penyakit ini sudah meluass ke seluruh dunia. Data Worldometer (https://www.worldometers.info/coronavirus/?utm_campaign=homeAdvegas1) per 26 November 2020 menunjukkan, di seluruh dunia, sudah terinfeksi 60,715,719 orang, mencakup 216 negara. Di Indonesia ini per 26 November, terpapar 511,836 orang. Total kematian global 1,426,734, di Indonesia 16,225. Sembuh 42,028,241 orang, di Indonesia, 429,807.

Virus Corona tidak hanya telah mengoncang dunia, tetapi juga mengoncang iman banyak orang. Orang-orang bertanya dimana Tuhan saat krisis begini? Indonesia yang tadinya santai-santai saja di awal Pandemi, akhirnyaa ikut repot juga, dan terpaksa berjibaku untuk menangani Corona Virus ini, sambil terus mencoba mempertahankan roda perekonomian tetap berjalan juga.

Puji Tuhan, walau kadang direpotkan oleh satu-dua pemerintah daerah, dengan tangan dingin pemerintah pusat tetap bisa menguasai keadaan, dan kita tetap bisa makan. Walaupun mungkin kita bosan di rumah, karena PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) terus menerus diperpanjang, hingga bulan ke-8 pada bulan November ini.

Seperti yang kita alami, Corona Virus tidak hanya membatasi gerak harian kita, tapi juga berdampak pada cara kita beribadat. Selama berbulan-bulan kita tidak bisa melaksakan kewajiban kita sebagai warga Katolik: merayakan Ekaristi setiap hari Minggu dan hari-hari raya yang diwajibkan Gereja. Puji Tuhan, ada jalan keluar untuk sementara waktu: kita bisa mengikuti Perayaan Ekaristi yang disiarkan melalui livestreaming dan TVRI. Puji Tuhan, sejah akhir July lalu, sebagian kecil dari Umat sudah bisa mengikuti Perayaan Ekarisi di Gereja dengan mengikuti protocol kesehatan yang sangat ketat. Umat yang berusia kurang dari 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun, sampai saat ini masih harus lock down, duduk manis di rumah.

Nah, pada awal Pandemi ini, kita ingat Gedung-gedung Gereja kita sepi, dan kosong melompong selama 3 bulan. Sampai saat ini pun masih ada beberapa Gereja belum boleh  mengadakan ibadah, karena berada di red zone, zona merah. Waktu gereja-gereja kosong melompong itu, sempat muncul sebuah joke dan juga meme. Jokenya begini. Melihat pintu-pintu Gereja ditutup pada hari Minggu, si Iblis pun bertempik sorak-sorai pada Tuhan. Sepertinya Iblis telah menang atas Gereja. Tapi sesaat kemudian Iblis kaget, karena dia melihat altar-altar Gereja sudah berpindah ke rumah-rumah Umat. Di rumah-rumah pun terdengar berkumandang Pujian dan Penyembahan; doa-doa dilatunkan dengan khusyuk, dan bahkan Perayaan Ekaristi. livestreaming setiap hari.

Begitulah, selalu ada hikmah di balik setiap pengalaman, di balik setiap peristiwa atau kejadian; baik yang membawa sukacita, maupun dukacita, seperti yang hari-hari ini kita alami karena bencana Corona Virus ini. Salah satu hikmahnya adalah khitmah pemurnian iman dan pembaruan terus menerus sikap iman kita. Bahwa bertemu Tuhan itu, tidaklah harus di sebuah gereja megah dan indah. Kita disadarkan betul, bahwa Tuhan pertama-tama harus kita temukan di dalam hati dan rumah kita masing-masing.

Kita ingat sebuah ajaran Gereja Katolik, bahwa rumah adalah “gereja mini”, “gereja kecil,” atau “gereja domestica.” Corona Virus sungguh menyadarkan kita akan hal ini, bahwa pertama-tama kita harus membangun mezbah atau altar Allah di rumah kita masing-masing; bahwa Gereja yang pertama dan terutama adalah paguyuban umat beriman, kumpulan Jemaat yang percaya pada Tuhan, bukan gedung gerejanya.

Lalu bagaimana kita melihat virus Corona ini dari kacamata iman: kutuk atau berkat? Untuk itu saya kutipkan apa yang disampaikan Bp Uskup, Ignatius Kardinal Suharyo dalam homilynya pada Misa Pontifikal Minggu Paskah 12 April 2020 lalu.

        Bapa Kardinal dalam homili itu bertanya, “Apa relevansi perayaan Paskah pada masa kita sedang mengalami pandemi wabah virus Corona 19 ini?”  Jawaban atas pertanyaan ini, kata Bapa Kardinal, “Dapat kita berikan antara lain: kalau kita tahu apa yang menyebabkan merebaknya wabah ini.

Ada berbagai pendapat yang berbeda-beda. Salah satu pendapat yang menarik, disampaikan dengan sangat hati-hati. Masuk akal budi kita, tetapi juga akal iman kita. Pendapatnya begini: bisa jadi wabah adalah reaksi natural atas kesalahan manusia secara kolektif terhadap alam.

Dalam bahasa Iman: wabah antara lain disebabkan oleh dosa ekologis. Yang dimaksudkan kira-kira begini: wabah muncul karena manusia telah merusak tatanan dan harmoni alam. Perusakan alam itu membuat alam tidak seimbang lagi, dan ini mempunyai akibat yang sangat luas dan beragam. Misalnya: pemanasan bumi, perubahan iklim, polusi yang mengotori semua elemen alam di darat, di laut, maupun di udara, dan munculnya berbagai macam penyakit baru.

Ketidakseimbangan alam ini membuat tubuh manusia tidak seimbang pula. Immunitas melemah, sehingga manusia menjadi rentan terhadap wabah. Seharusnya alam memiliki caranya sendiri untuk meredam wabah. Tetapi ketika nafsu keserakahan dan kesombongan manusia telah merusak alam, wabah pun tidak terbendung.

Mengenai keserakahan manusia ini, Paus Fransiskus mengatakan, “Dengan keserakahannya, manusia mau menggantikan tempat Allah dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam”. Kita semua terlibat di dalam dosa terhadap harmoni alam yang telah diciptakan oleh Allah sebagai semua baik dan amat baik adanya. Itulah yang disebut, sekali lagi, dosa ekologis.

Wabah menurut pendapat ini adalah isyarat alamiah, bahwa manusia telah mengingkari jati dirinya sebagai citra Allah, yang bertugas untuk menjaga harmoni alam, bukan merusaknya. Wabah menyadarkan bahwa manusia adalah ciptaan yang rapuh, yang tidak mungkin bertahan jika alam ciptaan lainnya dihancurkan.

Kita bersyukur karena di tengah-tengah pandemi wabah virus Corona 19 ini, kita menyaksikan kerelaan berkorban, solidaritas yang dahsyat dalam berbagai macam bentuknya. Dalam bahasa Iman: tumbuhnya kerelaan berkorban, tumbuhnya solidaritas, adalah Paskah yang nyata.

Semoga semua yang baik, tidak berhenti ketika nanti wabah ini lewat. Tetapi kita juga masih berharap, bahkan dituntut untuk merayakan Paskah yang lain, yakni Paskah Ekologis. Ketika kita dibebaskan dari dosa ekologi, dari dosa kolektif maupun pribadi, kita dibebaskan dari sikap tidak peduli terhadap alam, atau bahkan dibebaskan dari nafsu merusak alam, serta dianugerahkan kepada kita kekuatan untuk terus mewujudkan Paskah Ekologis itu. Memulihkan alam yang rusak, merawat dan menjaganya sebagai Ibu Bumi, rahim kehidupan yang sejahtera.”

Saya kira paparan Bapa Kardinal bisa kita jadikan pijakan bagaimana kita melihat dan menyikapi Pandemi Corona Virus yang praktis melanda seluruh dunia, 216 Negara. Cuma ada beberapa Negara kecil di Pasifik yang  tidak sempat terkena, karena dari awal mereka langsung melindungi diri dengan baik, dengan langsung mengambil jarak secara sangat ketat dengan dunia luar. Jadi kita tidak dapat mengatakan ini kutukan dari Tuhan, tapi Pandemi ini lebih karena kasalahan kita manusia merawat dan melestarikan alam sekitar kita.

Saat ini kita lihat bahwa Pendemi Coroba Virus belum tertangani dengan baik; belum ada tanda-tanda  akan berakhir. Begitu juga vaksin dan obatnya belum ditemukan. Calon vaksin sudah banyak sich.

Sejauh ini, dibandingkan dengan virus-virus lainnya, memang Corona tidak segawat virus-virus lain sebelumnya, asalkan badan kita sehat, tidak ada penyakit kronis, tidak komorbid. Sejauh ini, angka kematian akibat COVID-19 memang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian akibat virus SARS, flu burung Hongkong tahun 2002, dan dibandingkan dengan akibat kematian virus MERS, virus unta/Timur Tengah tahun 2012; juga atas virus Ebola, virus yang awalnya ditemukan pada hewan, seperti monyet, simpanse, dan primata lainnya di Afrika tahun 1976. Angka kematian akibat covid-19, memang lebih kecil.

CFR, Case-Fatality Rates, angka kematian SARS lalu sekitar 9.63 %, MERS sekitar 35 %, dan Ebola 11.3%. Tingkat kematian atau CFR (Case Fatality Rate) Virua Corona sekitar 3.5 %. Memang di Indonesia CFR-nya lebih tinggi, bahkan  tertinggi di Asia, sekitar 4%.

Agar kita tidak terlalu panik, baik kita cermati data-data virus tadi ketika suatu virus mewabah. Virus MERS (data 2012-2019) kasus terkonfirmasi: 2,494; Kematian 858; Negara berkasus 27; Tingkat kematian 34.45%. Virus SARS (data epidemi 2002-2003), kasus terkonfirmasi 8,437; kematian 774; Negara berkasus 37; Tingkat kematian: 9,6%;Ebola (data wabah 2014-2016), kasus terkonfirmasi 28,616, kematian: 11.31% (saat wabah bervariasi antara 25% – 90%), Negara berkasus, Negara-negara Afrika Barat.

Jadi angka kematian akibat Corona Virus, ada di bawah virus-virus lainnya. Sampai sekarang, virus yang dianggap paling mematikan adalah Virus atau Flu Spanyol pada tahun 1918-1920. Jumlah korban tewas waktu itu diperkirakan mencapai 40-50 juta jiwa. Flu Spanyol merenggut sekitar 2% populasi dunia yang saat itu berkisar 1.7 miliar orang. Korbannya termasuk dua remaja yang menyaksikan penampakan Bunda Maria tahun 10917 di Fatima: Jasinta dan Francesco. Kemudian hari, Gereja menyatakan mereka jadi santa dan santo.

Nah, pada pertengahan Mei 2020 lalu, WHO (Badan Kesehatan PBB) menyatakan bahwa Virus Corona tidak akan hilang, meski angka positif Corona sempat mengalami penurunan. Corona Virus akan tetap ada seperti halnya virus HIV, dan virus-virus lainnya. Memang Virus Corona tetap berbahaya. Seperti yang kita lihat, di beberapa negara, seperti Korea, Jerman, Inggris, Prancis, Iran, dan lainnya, ada gelombang kedua Pandemi Corona.

Di Indonesia sendiri, angka orang terinfeksi masih naik terus. Karena memang warga Indonesia, tidak sadar pentingnya dan mendesaknya untuk hidup tertib dan mengikuti protocol kesehatan yang ketat. Banyak yang tidak peduli. Lihat saja demo-demo dan kerumunan yang dibiarkan saja oleh suatu pemerintah daerah. “Kompas Online” tgl 2 November 2020 memuat berita ini, “Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona dr. Reisa Brotoasmoro menyatakan baru 32 persen responden yang menerapkan protokol kesehatan secara lengkap, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan secara bersamaan. Hal itu dikatakan Reisa saat memaparkan hasil survei terkini dari Unicef dan Nielsen, terhadap perkembangan penanganan Covid-19, yang dilakukan pada 2,000 responden yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.”

Tepat sekali apa yang dikatakan presiden kita, Jokowi. Mengamini pernyataan WHO bahwa virus Corona tidak akan hilang, pada tgl 15 Mei 2020 Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk belajar hidup berdampingan dengan COVID-19, berdamai dengan COVID-19. Hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah dan menjadi pesimistis. Sebab, hidup berdampingan berarti masyarakat bisa menyesuaikan diri menuju sebuah tatanan hidup baru, menjalankan hidup dengan protokol kesehatan yang ketat yang harus kita laksanakan. “Keselamatan masyarakat tetap harus menjadi prioritas. Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai The New Normal atau tatanan kehidupan baru,” tambahnya.

Jadi, seperti bunyi sebuah ungkapan setelah hujan, ada pelangi,  ada secercah terang di tengah kegelapan. Krisis memang melahirkan kreativitas, inovasi, dan peluang baru. Siapa mampu beradaptasi dengan cepat, dan mengapitalisasi peluang baru yang ada, akan menjadi pemenang. Pandemi ini mempercepat digitalisasi dalam masyarakat; mempengaruhi bagaimana kita bekerja, serta memunculkan budaya  baru dan kebiasaan baru.

Mengingat belum adanya obat dan vaksin untuk melawan Corona Virus, kesaksian orang-orang  yang sembuh, menggaris-bawahi apa yang dikatakan Kitab Amsal, Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Amsall 17, 22). “Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat” (Amsal 15, 13). Kesaksian orang-orang yang sembuh banyak berinspirasi pada pesan Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus, Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasaNya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis……. Ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah. …… Berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus“ (bdk, Efesus 6, 10-20).

Begitulah Anton. Kiranya kita tidak bisa mengatakan virus ini secara hitam-putih: ini kutuk atau berkat? Yang jelas ke depan, kita akan mulai terbiasa dengan “The New Normal”, hidup berdampingan dengan virus Corona. Ada ahli  pandemi yang memperkirakan keadaan baru normal kembali di akhir 2021. Harapan kita sich makin cepat makin baik. Semoga saja. Semoga berkenan, membantu, dan mencerahkan. Ikuti selalu protocol kesehatan. Stay safe, healthy, and happy! Salam dan berkat Tuhan.

Romo Chris Purba SJ