Bersiap-siap Mengarungi Metaverse

March 20, 2022

Oleh Th Wiryawan, Panitia Biz Talk Show, Founder WIR Group

Salah satu teknologi digital yang akan  berkembang pesat pada 2022 adalah metaverse. Perbincangan tentang metaverse dimulai sekitar akhir Oktober 2021 lalu ketika Facebook resmi berganti nama menjadi Meta, sebagai tekad memasuki bisnis baru teknologi digital yang berbasis “Virtual and Augmented reality (VR/AR)”.

Facebook mengubah nama perusahaannya menjadi Meta, dan mengumumkan akan menggelontorkan dananya sejumlah 10 Miliar US$ atau setara dengan 140 Triliun Rupiah di tahun lalu  untuk membangun Metaverse.

Apa sih Metaverse itu, dan bagaimana Metaverse itu akan mengubah cara kita bersosialisasi, bekerja dan menjalankan bisnis. Apa sisi baik dan buruk dari Metaverse? Bagaimana perusahaan-perusahaan merespon hadirnya Metaverse ini. Tahukah Anda akan diresmikan Metaverse Indonesia saat G 20 di Bali nanti dengan menghadirkan 3 kota, yaitu Jakarta, Bali dan Ibu Kota Negara.

Definisi Metaverse

Metaverse didefinisikan oleh Matthew Balls seorang venture capitalist dan penulis buku Metaverse Primer, sebagai jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang bekerja secara real time dan persisten serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran, dan hak, yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tak terbatas.

Facebook mendefinisikan Metaverse sebagai seperangkat ruang virtual yang dapat kita ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan kita.

Dalam jagat raya baru ini, kita bisa bertemu secara virtual dengan pengguna lain yang sedang daring dalam dunia digital 3D (tiga dimensi). Diri kita akan “diwakili” avatar 3D”, demikian juga pengguna lainnya. Inilah yang membedakan metaverse dengan internet 2D.

Dalam internet konvensional, kita hanya bisa bertemu pengguna lain dengan menggunakan nama akun, foto, atau video 2D. Untuk memasuki metaverse, kita harus menggunakan kacamata khusus, kacamata VR (virtual reality).

Misalnya, seseorang bisa memasuki pameran dan konferensi ilmiah yang diselenggarakan dalam bentuk metaverse. Setelah mendaftar, dia bisa datang dan memasuki ruang pameran dengan kacamata VR yang dia miliki.

Dia bisa berkeliling ke seluruh booth pameran, bertanya ke penjaga stan serta bertemu pengunjung lain “secara virtual dan real time.

Bedanya, dia bisa melakukannya sambil duduk menggunakan baju tidur di rumah, yang masuk ke pameran adalah perwakilan dirinya (avatar) yang mengenakan setelan jas lengkap yang dia kendalikan dengan kacamata VR, program komputer, dan platform metaverse. “Setelah melihat pameran, dia bisa menjadi pembicara di konferensi ilmiah di depan peserta lain yang tentu dalam bentuk avatar juga”.

Bentuk 2D dari konferensi seperti ini, sering kita lakukan sekarang menggunakan Zoom, Microsoft Teams, atau Google Meet. Platform konferensi konvensional ini akan segera bertransformasi menjadi metaverse.

Semua yang biasa kita lakukan di dunia nyata bisa kita lakukan di Metaverse termasuk berbisnis dan berkarir untuk mencari uang di Metaverse juga membeli tanah, baju, mobil, serta karya seni digital yang akan mendapat sertifikat kepemilikan yang sah, atas aset-aset itu. Aset itu akan selalu ada dan menjadi milik kita selama kita tidak menjualnya ke orang lain.

Penggunaan metaverse untuk pengambilan keputusan juga diperlukan berbagai bidang lainnya” seperti kesehatan, sosial, kepolisian, politik, agromaritim, pemerintahan, dan militer.dan pelayanan rohani. Bayangkan nanti kita jalan salib akan measuk dalam suasana yg lebih rill. Kita bisa merasakan penderitaan Yesus.

Ekonomi Metaverse

Di masa depan, transaksi e-commerce di metaverse bisa triliunan rupiah dan lebih besar daripada omzet jual beli daring saat ini. Sebab, promosi produk bisa di tempat dan suasana sesuai realitas di dunia nyata sehingga lebih atraktif dan mengena di hati konsumen.

Bisnis lain lebih unik lagi karena belum kita kenal sebelumnya. Dalam bisnis ini, kita bisa membeli atau menjual produk yang hanya ada dalam bentuk digital. Bentuk fisiknya tidak ada”.

Sebagai contoh, “seorang” avatar akan menghadiri pertemuan bisnis, lalu membeli jas dan dasi di toko dalam metaverse. Transaksi dilakukan riil, artinya ada uang yang berpindah dari pembeli ke penjual. Kelak, avatar ini bisa menjualnya jika sudah tak diperlukan.

Dalam metaverse seperti ini, kita juga bisa melakukan investasi dengan membeli “tanah” atau space. Harga “tanah” ini suatu saat naik karena tingginya permintaan dan kalau dijual tentu menjadi sumber pendapatan yang sangat baik bagi investor.

Sertifikat kepemilikan “tanah” dibuat dengan teknologi “Non Fungible Token” (NFT) berbasis blockchain yang lebih aman dan sangat sulit dipalsukan.

Fenomena ini sangat aneh bagi sebagian orang, tetapi dalam bentuk sederhana hal ini sebenarnya tak ubahnya seperti kita melakukan jual-beli nama alamat web atau domain di internet 2D yang ada saat ini.

Transaksi dan investasi dalam metaverse seperti inilah yang disebut “Realitas Virtual” yang akan membentuk masa depan kita. Dengan fenomena ini, dapat diramalkan ekonomi digital akan segera terdisrupsi oleh ekonomi metaverse yang lebih menakjubkan.

Lalu apa implikasi teknologi metaverse ini untuk kita saat ini? Hal yang jelas, kita tidak mau hanya mengetahui atau hanya menjadi pengguna teknologi metaverse.

Kita harus mempersiapkan diri menguasai bahkan menjadi inovator berbagai aspek dari metaverse ini.

Bizz talk ini merupakan sebuah langkah awal sebagai sebuah ajakan para pengusaha dan profesional Katolik. (tD)